Sabtu, 09 Oktober 2010

FILOSOFI PENSIL


“Setiap orang membuat kesalahan. Itulah sebabnya, pada setiap pensil ada penghapusnya” (Pepatah Jepang).
Kali ini saya ingin menceritakan kepada Anda sebuah kisah penuh hikmah dari sebatang pensil. Dikisahkan, sebuah pensil akan segera dibungkus dan dijual ke pasar. Oleh pembuatnya, pensil itu dinasihati mengenai tugas yang akan diembannya. Maka, beberapa wejangan pun diberikan kepada si pensil. Inilah yang dikatakan oleh si pembuat pensil tersebut kepada pensilnya.
“Wahai pensil, tugasmu yang pertama dan utama adalah membantu orang sehingga memudahkan mereka menulis. Kamu boleh melakukan fungsi apa pun, tapi tugas utamamu adalah sebagai alat penulis. Kalau kamu gagal berfungsi sebagai alat tulis. Macet, rusak, maka tugas utamamu gagal.”
“Kedua, agar dirimu bisa berfungsi dengan sempurna, kamu akan mengalami proses penajaman. Memang meyakitkan, tapi itulah yang akan membuat dirimu menjadi berguna dan berfungsi optimal”.
“Ketiga, yang penting bukanlah yang ada di luar dirimu. Yang penting, yang utama dan yang paling berguna adalah yang ada di dalam dirimu. Itulah yang membuat dirimu berharga dan berguna bagi manusia”.
“Keempat, kamu tidak bisa berfungsi sendirian. Agar bisa berguna dan bermanfaat, maka kamu harus membiarkan dirimu bekerja sama dengan manusia yang menggunakanmu”.
“Kelima. Di saat-saat terakhir, apa yang telah engkau hasilkan itulah yang menunjukkan seberapa hebatnya dirimu yang sesungguhnya. Bukanlah pensil utuh yang dianggap berhasil, melainkan pensil-pensil yang telah membantu menghasilkan karya terbaik, yang berfungsi hingga potongan terpendek.
Itulah yang sebenarnya paling mencapai tujuanmu dibuat”.
Sejak itulah, pensil-pensil itu pun masuk ke dalam kotaknya, dibungkus, dikemas, dan dijual ke pasar bagi para manusia yang membutuhkannya. Pembaca, pensil-pensil ini pun mengingatkan kita mengenai tujuan dan misi kita berada di dunia ini. Saya pun percaya bahwa bukanlah tanpa sebab kita berada dan diciptakan ataupun dilahirkan di dunia ini.
Yang jelas, ada sebuah purpose dalam diri kita yang perlu untuk digenapi dan diselesaikan. Sama seperti pensil itu, begitu pulalah diri kita yang berada di dunia ini. Apa pun profesinya, saya yakin kesadaran kita mengenai tujuan dan panggilan hidup kita, akan membuat hidup kita menjadi semakin bermakna.
Tidak mengherankan jika Victor Frankl yang memopulerkan Logoterapi, yang dia sendiri pernah disiksa oleh Nazi, mengemukakan “tujuan hidup yang jelas, membuat orang punya harapan serta tidak mengakhiri hidupnya”. Itulah sebabnya, tak mengherankan jika dikatakan bahwa salah satu penyebab terbesar dari angka bunuh diri adalah kehilangan arah ataupun tujuan hidup. Maka, dari filosofi pensil di atas kita belajar mengenai lima hal penting dalam kehidupan.
Pertama, hidup harus punya tujuan yang pasti. Apapun kerja, profesi atau pun peran yang kita mainkan di dunia ini, kita harus berdaya guna. Jika tidak, maka sia-sialah tujuan diri kita diciptakan. Celakanya, kita lahir tanpa sebuah instruksi ataupun buku manual yang menjelaskan untuk apakah kita hadir di dunia ini. Pencarian akan tujuan dan panggilan kita, menjadi tema penting selama kita hidup di dunia. Yang jelas, kehidupan kita dimaknakan untuk menjadi berguna dan bermanfaat serta positif bagi orang-orang di sekitar kita, minimal untuk orang-orang terdekat. Jika tidak demikian, maka kita useless. Tidak ada gunanya. Sama seperti sebatang pensil yang tidak bisa dipakai menulis, maka ia tidaklah berguna sama sekali.
Kedua, akan terjadi proses penajaman sehingga kita bisa berguna optimal, oleh karena itulah, sering terjadi kesulitan, hambatan ataupun tantangan. Semuanya berguna dan bermanfaat sehingga kita selalu belajar darinya untuk menjadi lebih baik. Ingat kembali soal Lee Iacocca, salah satu eksekutif yang justru menjadi besar dan terkenal, setelah dia didepak keluar dari mobil Ford. Pengalaman itu justru menjadi pemacu semangat baginya untuk berhasil di Chrysler. Ingat pula, Donald Trump yang sempat diguncang masalah finansial dan nyaris bangkrut. Namun, kebangkrutannya itulah yang justru menjadi pelajaran dan motivasi baginya untuk sukses lebih langgeng. Kadang penajaman itu ’sakit’. Namun, itulah yang justru akan memberikan kesempatan kita mengeluarkan yang terbaik.
Ketiga, bagian internal diri kitalah yang akan berperan. Saya sering menyaksikan banyak artis, ataupun bintang film yang terkenal, justru yang hebat bukanlah karena mereka paling cantik ataupun paling tampan. Tetapi, kemampuan dalam diri mereka, filosofi serta semangat merekalah yang membuat mereka menjadi luar biasa. Demikian pula pada diri kita. Pada akhirnya, apa yang ada di dalam diri kita seperti karakter, kemampuan, bakat, motivasi, semangat, pola pikir itulah yang akan lebih berdampak daripada tampilan luar diri kita.
Keempat, pensil pun mengajarkan agar bisa berfungsi sempurna kita harus belajar bekerja sama dengan orang lain. Bayangkanlah seorang aktor atau aktris yang tidak mau diatur sutradaranya. Bayangkan seorang anak buah yang tidak mau diatur atasannya. Ataupun seorang service provider yang tidak mau diatur oleh pelanggannya. Mereka semua tidak akan berfungsi sempurna. Agar berhasil, kadang kita harus belajar dari pensil untuk ‘tunduk’ dan membiarkan diri kita berubah menjadi alat yang sempurna dengan belajar dan mendengar dari ahlinya. Itulah sebabnya, kemampuan untuk belajar bekerja sama
dengan orang lain, mendengarkan orang lain, belajar dari ‘guru’ yang lebih tahu adalah sesuatu yang membuat kita menjadi lebih baik.
Terakhir, pensil pun mengajarkan kita meninggalkan warisan yang berharga melalui karya-karya yang kita tinggalkan. Tugas kita bukan kembali dalam kondisi utuh dan sempurna, melainkan menjadikan diri kita berarti dan berharga. Itulah filosofi ‘memberi dan melayani’ yang diajarkan oleh Tuhan kita. Itulah sebabnya Ibu Teresa dari Calcutta ataupun Albert Schweitzer yang melayani di Afrika lebih mengumpamakan diri mereka seperti sebatang pensil yang dipakai oleh Tuhan. Yang penting, hingga pada akhir kehidupan kita ada karya ataupun
hasil berharga yang mampu kita tinggalkan. Tentu saja tidak perlu yang heboh dan spektakuler.
Sumber: Filosofi Pensil oleh Anthony Dio Martin

CINTA SANG GADIS KECIL

Kisah berikut ini sangat layak dibaca dan menjadi renungan untuk kita. Kejadian sederhana yang menunjukan bakti anak mampu menyadarkan kebencian ibu kandung terhadap dirinya. Disarikan dari buku kumpulan kisah “Surga Di Depan Mata” karya Ustadz Naufal bin Muhammad Al-‘Aidarus.

Ada seorang ibu muda yang mempunyai gadis kecil berusia satu setengah tahun. Mereka tinggal bertiga bersama mama dari ibu tersebut. Ibu muda ini sangat membenci puteri semata wayangnya itu. Bukan karena ia nakal, tetapi karena gadis kecil itu berparas sama dengan mantan suaminya, ayah dari gadis itu. Ketika ia mengandung gadis kecil tersebut, suaminya pergi meninggalkannya dan menikah dengan wanita lain. Sehingga kebenciannya makin bertambah ketika paras puterinya menyerupai mantan suaminya.

Ibu muda ini melampiaskan kebenciannya pada anaknya. Diberi makan seadanya dan sehari-hari lebih banyak diurus neneknya. Gadis kecil itu pun seakan mengerti, tidak pernah merengek dan bermanja-manja seperti layaknya anak-anak terhadap ibunya.

Suatu sore sang ibu ingin berbelanja di pasar swalayan dan pada saat yang sama sang nenek tidak ada di rumah. Karena tidak ada yang menjaga, maka dengan sangat jengkel dan terpaksa ia mengajak puterinya. Dengan menggunakan sepeda motor, ia membonceng puterinya yang ditempatkan di belakangnya. Ia tidak peduli bagaimana kesemalatan gadis kecilnya. Ia hanya berpesan, “Pegangan yang erat. Kalau tidak, nanti mama pukul.”

Beberapa menit kemudian sampailah mereka ke pasar swalayan. Si ibu menuju area parkir dan meninggalkan gadis kecilnya di tempat duduk sepeda motor, tepatnya di jok bagian belakang. Ia hanya berpesan :

“Kamu harus duduk di sini saja, mama mau beli sesuatu. Kamu jangan ke mana-mana!”

Dengan wajah ketakutan karena lingkungannya yang tidak ramah, apalagi mendengar suara ibunya yang keras, gadis itu hanya mengangguk pelan. Sang ibu berjalan masuk ke dalam pasar swalayan tanpa memikirkan bagaimana keadaan anaknya di parkiran. Tanpa ia sadari kalau beberapa saat kemudian terjadi hujan deras.

Setelah memenuhi keperluannya, sang ibu keluar gedung. Dengan menggunakan jaket menutupi kepala dan bergegas menuju are parkir. Di sana ia melihat anaknya tidur memeluk jok sepeda motor yang diterpa hujan. Melihat anaknya seperti itu, ia marah dan memaki anaknya.

“Mama tadi kan sudah bilang, kamu harus duduk diam di sini, di jok belakang ini. Tapi kamu kok malah tidur di jok ini. Dasar anak tidak tahu diri!”

Sambil menangis, dengan suara yang lemah dan bergetar menggigil kedinginan, sang gadis kecil berkata kepada ibunya :

“Mama … aku takut tempat duduk mama basah kena hujan. Aku tidur di atasnya supaya mama pulang tidak kebasahan.”

Ucapan lugu sang gadis kecilnya seperti petir menyambar dirinya. Sikap kasar dan tidak punya belas kasih selama ini seakan runtuh seketika. Air matanya pun berderai, lalu mendekap erat gadis kecilnya. Dalam hati ia berkata, “Walau aku membenci bahkan menghardik anak ini, ternyata tidak tersimpan dendam dalam hatinya.” Sang ibu pun menyesali perbuatannya selama ini. Sejak saat itu ia memberikan kasih sayang kepada gadis kecilnya seperti layaknya perhatian seorang ibu kepada anaknya. ***

Kebencian selama satu setengah tahun terhadap anak kecilnya sendiri, bukan hal yang sederhana. Namun justru keluguan sang anak, sikap tanpa pamrih sang anak yang mengantarkan sang ibu menuju titik balik pada kasih sayang yang semestinya. Karena memang sang anak tidak layak menanggung alamat kebencian ibunya.

Maka berbahagialah siapapun kita, anak-anak yang merelakan hati untuk memahami sikap orang tua. Kadang kala kita menganggap orang tua egois hanya karena keinginan mereka tidak sejalan dengan alam pikiran kita. Padahal bisa jadi kitalah anak yang egois karena tidak berusaha memahami keinginan orang tua. Namun sikap terbaik untuk menunjukkan kasih sayang tanpa pamrih apapun, terbukti telah mengubah segalanya menjadi ni’mat. Apapun yang dilakukan orang tua pasti untuk kebahagiaan anak, tapi belum tentu yang dilakukan anak untuk kebahagiaan orang tua.

Semoga kita bisa memetik hikmah dari kisah tersebut. Amiin.