Sabtu, 21 November 2009

REVIEW PARADIGMA PENGAJARAN

Al Kamil *)

Mencermati pola pengajaran, motivasi belajar dan hubungan materi pelajaran dengan skill, saya ingin membahas beberapa hal. Diawali dari perbedaan motivasi belajar yang sangat jelas antara siswa SLTA di sekolah dengan di LPK. Dengan materi pelajaran praktek keterampilan yang sama, di LPK siswa belajar dengan penuh antusias, motivasi untuk memahami cukup tinggi. Sedangkan di sekolah hanya antusias saja. Itupun karena (mungkin) belajar praktek adalah sisi lain untuk mengurangi kejenuhan. Pada awalnya saya mengira bahwa motivasi besar siswa yang belajar di LPK karena perhitungan biaya besar dan masa belajar yang terbatas. Namun setelah dipelajari lebih lanjut, saya menyimpulkan lain. Di LPK, siswa sangat menikmati proses belajar karena mereka ”memahami untuk apa mereka belajar dan manfaat apa materi itu dipelajari”. Hal ini tentu berbeda dengan pengajaran di sekolah, terutama di tingkat SLTP dan SLTA atau bahkan di Perguruan Tinggi.

Mungkin kita semua masih ingat, bagaimana semangat belajar kita semasa TK dan SD. Semangat belajar membaca, menulis, berhitung, menghapal dan bernyanyi. Kita bersemangat karena memang setiap hari menemukan pengetahuan baru dan pencapaian baru. Ketika di SLTP dan di SLTA kita mendapatkan pelajaran baru juga, namun di sini makin sadar bahwa tidak semua pelajaran bisa dipahami ”untuk apa dipelajari”, terlebih lagi dipraktekkan. Semakin tidak dipahami ”untuk apa” tersebut, semakin sulit menerima, semakin tidak tertarik mempelajarinya. Tentu hal ini problem yang perlu dicermati. Padahal, siswa tetap berkewajiban ”melahap” sekian mata pelajaran itu. Bagaimana pula hubungan pelajaran tersebut dengan target karier profesional mereka sekian tahun ke depan.

Pada akhirnya terbentuk paradigma tentang belajar, yaitu belajar adalah proses formal untuk melegitimasi pencapaian profesi tertentu. Atau belajar adalah proses untuk mengetahui, terlepas dari ”dapat diterapkan atau tidak”. Belajar seakan menjadi kegiatan tranformasi konsep dari guru ke siswa, kemudian siswa menjadi guru dan mengajarkannya lagi kepada siswa, dari generasi ke generasi. Kecerdasan seseorang seakan dilihat dari kemampuan menghapal pasal dan ayat, susunan kata dalam kalimat yang dikemukakan oleh pakar dibidangnya. Wajar jika kemudian semakin tinggi strata pendidikan seseorang, semakin berpotensi menjadi pengajar, pengamat sejati, penganalisis. Hasil besar dari pengajaran adalah pengajaran itu sendiri. Hanya sedikit yang ”menjadikan sesuatu” atau ”mewujudkan sesuatu”. Malah ada anekdot yang cukup ”melecehkan” bahwa orang Indonesia bisa mendarat di bulan tanpa menggunakan roket. Caranya cukup sederhana, yaitu mendaki tumpukan makalah dan sertifikat seminar.

Sebagai pembanding coba kita lihat lima pilar pendidikan :
1. learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan)
2. learning to learn (belajar untuk tahu cara belajar).
3. learning to do (belajar untuk dapat melakukan pekerjaan)
4. learning to be (belajar agar dapat menjadi orang yang berguna sesuai dengan minat, bakat dan potensi diri).
5. learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain).

Kira-kira berapa pilar yang dibangun di negeri ini? Yang pasti, pilar terbesar adalah learning to know dan learning to learn. Salah satu petunjuk besar untuk membuktikan bahwa mata pelajaran yang diajarkan lebih bersifat pengetahuan adalah ”trend nyontek alias njiplak” yang nyaris menjadi budaya. Karena siswa tahu bahwa proses belajar hanyalah teori sehingga bisa dijiplak tanpa harus memahami. Dianalogikan sederhana, siswa sangat mahir menghapal dan menyontek gaya renang profesional walaupun mereka tidak pernah praktek olahraga renang. Teori renang bisa dicontek pada saat ujian di universitas olahraga, bisa dikarang jika tidak mengerti selengkapnya. Tapi satu hal yang pasti, manusia primitip pun bisa menjawab dengan benar bahwa untuk menjadi perenang profesional harus ”terjun ke air”. Maksudnya, tahap paling bijak setelah ”belajar mengetahui” adalah ”bisa melakukan”. Saya memahami bahwa ilmu pengetahuan harus menggugah dan membentuk pemahaman manusia menjadi karakter yang memudahkan proses kehidupannya. Ilmu pengetahuan bukan sekedar kumpulan kata yang membentuk kalimat yang tercantum di naskah buku pelajaran. Ilmu pengetahuan adalah terjemahan dari fakta, nilai empiris, menerangkan dan mendorong mewujudkan hal-hal yang belum terwujud. Ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang abstrak, tetapi bisa dirasakan. Inilah beberapa penekanan dalam pengajaran, sehingga apa yang dipelajari dapat dipahami fungsinya, nilai idealnya, tingkat kepentingannya, ruang penggunaannya.

Hal yang sangat ”menggelisahkan” saya adalah ketika para siswa harus memiliki nilai spektakuler pelajaran yang tidak ada hubungan langsung terhadap kejuruan yang dipilih. Siswa ”terpaksa” menghabiskan energinya berkutat di materi pelajaran tertentu yang notabenenya tidak menunjang program profesi yang dipilihnya. Mereka belajar keras bukan untuk memahami nilai dari pelajaran yang ditekuni, melainkan hanya ingin lulus ujian.

Parahnya lagi, para pengajar pun tidak semuanya menjelaskan manfaat apa bahan pengajarannya. Saya sering bertanya, sebesar apa manfaat mata pelajaran yang diajarkan terhadap profesi yang dipilih siswa. Jawaban paling trend, ”Ya ada sih, tapi ya bingung juga menjelaskannya. Memang pembelajarannya seperti itu ya ikuti saja.” Bahasa sederhananya, untuk apa kita ”berkutat” dalam sistem yang kita ketahui tidak mencerahkan dan tidak mencerdaskan.
Beberapa kali saya ikut seminar tentang peningkatan kualitas pengajaran, ternyata yang menarik bukan materinya, melainkan sertifikat atau piagam untuk menambah point akreditasi. Kalau sudah seperti ini, sulit membangun kepercayaan siswa terhadap pembelajaran. Karena aura pengajar sendiri menunjukkan ketidak yakinan dengan bahan ajarannya.

Contoh fakta :
Berdasarkan penelitian terhadap pendidikan enterpreneur yang dikembangkan di Indonesia, didapatkan fakta bahwa peserta yang berhasil dalam pembelajaran hanya mencapai angka 23%, sementara peserta yang berhasil menjadi entrepreneur atau wirausahawan hanya 3%. Di Akademi Pimpinan Perusahaan yang berada di bawah naungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, jumlah lulusan yang menjadi pengusaha hanya mencapai angka 4%, sementara 96% sisanya menjadi karyawan. Analisis dari Tim Pakar The Grage Institute yang mendesain proses pembelajaran dalam kegiatan ini, menyimpulkan penyebab kegagalan karena Pendidikan kewirausahaan lebih berorientasi pada dua hal : Pengetahuan tentang bisnis dan Keterampilan pendukung dalam mengelola bisnis. Sehingga orang hanya mengetahui ilmu bisnis tetapi tidak berani menjalankan bisnis.

Dapat dibayangkan, jika ilmu terapan di lembaga pendidikan yang notabenenya difokuskan untuk menjadi wirausahawan saja tidak melahirkan nilai ideal yang signifikan, apalagi di lembaga lain.
Jika dihubungkan dengan motivasi belajar siswa di sekolah, saya menyatakan bahwa ”sangat wajar kalau siswa malas belajar”. Bukan berarti mendukung siswa yang enggan belajar, tapi saya memahami kegelisahan siswa. Pendidikan seakan rutinitas sekaligus identitas. Yang penting hadir setiap hari di sekolah, mengikuti ujian, tidak anarkis, sanggup membayar SPP, maka jaminan lulus sudah dikantongi. Institusi penanggung jawab pendidikan menganggap musibah jika banyak siswa yang tidak lulus di wilayahnya, tapi tidak menganggap masalah jika banyak siswa yang lulus tanpa memiliki kecakapan. Saya pernah ditunjukkan oleh rekan guru, ada siswa yang lulus SD sebelum siswa itu bisa membaca. Tahun 2008 dan 2009 pasca ujian sekolah dunia pendidikan dihebohkan dengan kecurangan sistematis pada saat UAN dan UNAS. Nilai matematika, bahasa Inggeris dan bahasa Indonesia seperti mahkota permata yang berharga fantastik. Sementara di sisi lain, institusi pendidikan melihat biasa-biasa saja ribuan siswa yang lulus ujian tanpa mereka memahami sebab mereka diluluskan, bahkan tidak mengerti apa yang dilakukan pasca kelulusan. Termasuk para sarjana yang menurut data tahun 2008, angka penganggur berijazah sarjana lebih 1,4 juta orang. Juga tidak tahu apa yang bisa dilakukan dengan titel dan ijazahnya. Yang mereka tahu hanya melamar pekerjaan, berdesak-desakan di bursa kerja walaupun mereka sendiri mengerti hal itu bukan pilihan yang menyenangkan.

Mungkinkah kita melihat masalah ini hanyalah kasuistis yang terjadi kebetulan? Tidak, karena kurikulum pendidikan terus diperbaharui atau disempurnakan. Artinya bahwa ibu pertiwi tidak pernah surut melahirkan putera-puteri bangsa yang mampu mengikuti proses pendidikan dengan baik. Maka, jika hasilnya meningkatkan jumlah anak bangsa yang ”linglung” setelah melewati proses pendidikan belasan tahun, berarti dibutuhkan ”reformulasi akbar” pola pengajaran dan meninjau kembali efektivitasnya yang diterapkan selama ini. Jelas hal ini bukan pekerjaan sederhana karena menyangkut pola pikir yang sudah membudaya. Namun pasrah juga bukan solusi dalam mengubah wajah generasi.

Beberapa Titik Evaluasi

Pertama, jumlah mata pelajaran perlu ditinjau lagi. Menurut saya mata pelajaran yang wajib dikuasai sepertinya sangat banyak, terutama di tingkat SLTA. Karena di tingkat SLTA siswa sudah harus memiliki target profesi. Ahli pendidikan, Montessory, Gormly dan Brodzisky menyatakan pada usia 12 – 18 tahun, dan Charles Buhler menyatakan pada usia 13 – 19 tahun – seseorang mengalami proses ”PENEMUAN DIRI” yang berikutnya menjadi TAHAP PENTING untuk mengasah bakat, kecerdasan dan potensi yang dimiliki untuk menentukan pekerjaan/profesinya. Para siswa tidak bisa fokus jika pelajaran yang dibebankan kepada mereka terlalu banyak, padahal tidak semuanya efektif menunjang karakteristik profesi mereka.

Kedua, pentingnya metode belajar yang memungkinkan siswa dapat memahami manfaat riil dari sebab pengajaran setiap materi yang diberikan, serta dapat diterapkan sesuai dengan bidang kejuruan yang ditargetkan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong minat belajar siswa, karena prinsip dasar manusia adalah ”selalu ingin mengetahui” dan akan memetik manfaat jika ”tidak sekedar mengetahui”. Melihat satu manfaat riil tentu lebih pasti menarik minat daripada seribu iklan yang tidak menjelaskan manfaat. Siswa termotivasi belajar jika mereka meyakini manfaat besar dari sebab mereka belajar, nyata dan tidak dikamuflase.

Ketiga : Mengurangi pelajaran yang tidak berhubungan langsung dengan aktivitas praktis. Saya meyakini bahwa semakin ke depan, pelajaran yang hanya berbasis pengetahuan semakin ”tidak penting” dipelajari di sekolah. Karena jika sekedar minat untuk mengetahui, orang lebih memilih media informasi berbasis teknologi seperti internet. Saya tidak yakin bahwa sekian tahun kedepan orang masih tertarik belajar tentang tata surya, proses gerhana, perubahan iklim dan semacamnya di sekolah. Karena informasi terlengkap dan ter-update ada di media teknologi komunikasi, berkembang drastis tanpa menunggu pembaharuan kurikulum oleh institusi pendidikan nasional. Kasihan penyusun kurikulum akan ”berbalapan ria” dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat mengungkap hal-hal baru menjadi pengetahuan baru. Dan yang lebih penting lagi, seberapa pun besarnya pengetahuan tentang ilmu tersebut, toh pada akhirnya harus menyiapkan lamaran kerja juga untuk diajukan ke berbagai sektor industri dan jasa.

Keempat, Ujian Nasional dengan standar kelulusan yang bertumpu pada mata pelajaran tertentu harus dievaluasi besar-besaran asas manfaatnya. Menurut saya, ujian nasional tersebut telah merusak atau minimal membuat pincang pilar pendidikan. Anak bangsa sibuk belajar menyelesaikan soal pilihan ganda, lembaga bimbingan belajar beriklan mengajarkan cara smart menjawab soal pelajaran ini dan itu. SEKOLAH SEAKAN MENJADI SARANA MERAMPUNGKAN JAWABAN TEKA-TEKI SILANG. Saya sepakat dengan pendapat Sosiolog dari UI, Dr. Imam Prasodjo, bahwa Ujian Nasional jangan dijadikan standar kelulusan. Karena berakibat mengebiri dan merampas kecerdasan anak bangsa. Tidak ada kata yang paling tepat selain, ”HENTIKAN”. Ganti dengan metode lain yang lebih mencerdaskan anak bangsa.

Kelima, Hilangkan diskriminasi pendidikan di sekolah negeri seperti pelabelan ”sekolah unggulan” dan hanya menerima siswa yang berprestasi standar. Cukup sekolah swasta yang berhak memilah siswa, karena memang dibangun secara mandiri. Sekolah negeri difasilitasi oleh negara, memakai uang rakyat. Maka sangat tidak pantas memilah-pilah anak didik yang notabenenya rakyat juga. Kapan wajah anak bangsa berubah jika hanya memanjakan sebagian dan menganak-tirikan yang lain. Kapan siswa dari ”kelas bawah” bisa termotivasi dan memiliki impian besar jika setiap hari hanya berkumpul dengan teman-teman yang keadaannya sama. Jika ada sekolah unggulan, tentu yang lain adalah sekolah tidak unggul yang menjadi tempat penampungan siswa yang termarginalkan. Tahukah anda apa yang terjadi jika anak didik yang termarginal tersebut berkumpul? Tahukah anda bagaimana beban guru yang mengajar di sekolah tersebut? Saya yakin, nurani kita sama seperti yang telah diamanahkan UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran.

Keenam, Mendorong terciptanya budaya yang menyehatkan pendidikan di berbagai bidang. Terutama membatasi liberalisasi media massa audio visual seperti televisi yang jika dicermati sangat jauh dari nilai edukasi. Tidak cukup hanya mengandalkan TV pendidikan, TV anak sebagai pilihan cerdas. Karena pada saat yang sama puluhan channel menyiarkan program yang menyesatkan dan kebetulan diminati siswa siswi. Kita tidak akan pernah bisa cerdas jika belajar pada sinetron, infotainment, hura-hura musik, film mistis, sulap dan tayangan sampah lainnya. Tapi sebagai rakyat juga tidak memiliki ”tangan besar untuk menonjok” kapitalis dan liberalis pemilik media massa. Hanya pemegang kebijakan yang bisa mengatur. Saya dan jutaan orang yang ingin melihat anak bangsa lebih beradab, yakin bahwa pencerahan itu pasti ada jika kita mau. Liberalisme mungkin sebuah tantangan di era globalisasi, tapi juga berpotensi menciptakan kebiadaban dalam peradaban. ***

*) Penulis :
- Direktur Lembaga Pemberdayaan Generasi Muda (LPGM) ”Bina Prestasi” Samarinda.
- Guru Mata Diklat KKPI, SMK Muhammadiyah 2 Samarinda.
- Owner Al-Kamil Media (Media Grafika & Perdagangan Umum) Samarinda.

Minggu, 15 November 2009

SUKSES PELAJAR


al Kamil *)

MENGENAL DIRI

Yaitu, menilai diri secara obyektif. Susunlah “Daftar Nilai” pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri, keahlian yang dimiliki, kesempatan, fasilitas, faktor pendukung kemajuan diri, dll.
Woow, ternyata kita punya POTENSI DAHSYAT lho! Kita harus SIAP memupuk potensi besar itu agar tetap subur. Temukan pula potensi yang belum dikembangkan. Pelajari kendala yang selama ini menghalangi perkembangan diri kita seperti: pola berpikir yang keliru, motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurang tekun, kurang sabar, tergantung pada orang lain, atau pun sebab-sebab lain.
Ingin lebih mantap lagi? Bikin analisis S-W-O-T (Strengths, Weaknesses, Opportunity and Threats – Kekuatan, Kelemahan, Dukungan, Ancaman) diri kita. Gunakan analisis itu untuk membuat strategi pengembangan diri yang lebih nyata.

PARADIGMA SUKSES DARI PENGAJARAN ROBERT T. KIYOSAKI Konsep Cash Flow Quadrant & Poor Dad, Rich Dad




(KLIPING REFERENSI, dikutip dari berbagai sumber)

Robert T. Kiyosaki adalah konsultant keuangan orang terkaya di dunia, Bill Gates (Pemilik Microsoft Corporation). Bukunya senantiasa menjadi Best Seller dikaji oleh orang-orang berbagai kalangan. Kiyosaki mengajarkan kita bagaimana membangun kecerdasan finansial, kecerdasan mengembangkan potensi yang kita miliki sehingga tidak harus selamanya “bekerja untuk mendapatkan uang”, melainkan strategi praktis bagaimana “uang bekerja untuk kita”.

THE CASHFLOW QUADRANT

Dalam buku tersebut kita akan mengetahui letak kuadran keadaan finansial kita.
Cashflow Quadrant dipetakan menjadi E, S, B, dan I.

E untuk employee (pegawai), membarterkan waktu dan tenaganya untuk membangun Asset yang dimiliki “B”.
S untuk Self-employed (pekerja lepas), membarterkan waktu dan tenaganya untuk memperoleh penghasilan.
B untuk business owner (pemilik usaha), dimana orang lain bekerja untuk membangun aset mereka, sesuai sistem yang dimilikinya.
I untuk investor (penanam modal), kemudian dia memetik hasilnya. Tanpa ikut mengelola pun, mereka tetap mendapatkan penghasilan.

“E” dan “S” yang mengandalkan gaji diletakkan di kuadran sisi kiri, sedangkan “B” dan “I” yang menerima pemasukan dari bisnis atau investasi diletakkan di sisi kanan.

Setiap orang setidaknya menempati satu dari keempat Cashflow Quadrant dan kebanyakan dari kita menempati posisi sebelah kiri sebagai employee atau self-employee. The Cashflow Quadrant adalah tentang keempat jenis orang berbeda dalam dunia bisnis, tentang siapa diri mereka dan apa yang membuat individu di masing-masing kuadran unik.

Pembaca akan dibantu menentukan di mana posisi kita sekarang dalam quadrant,
dan pembaca akan dibantu memetakan arah untuk mencapai posisi yang diinginkan di masa depan ketika memilih jalan sendiri untuk menuju kebebasan finansial.

Walaupun kebebasan finansial bisa ditemukan dalam keempat kuadran ini, namun keterampilan “B” atau “I” akan membantu mencapai target finansial dengan lebih cepat. Dan seorang “E” yang berhasil seharusnya menjadi seorang “I” yang berhasil juga. Buku ini ditulis bagi mereka yang siap untuk pindah dari keamanan pekerjaan dan mulai mencari kebebasan finansial mereka; membuat perubahan finansial dan profesional yang besar dalam hidup mereka; dan pindah dari Era Industri ke Era Informasi.

Setiap orang dapat sukses di kuadrannya masing-masing
Perbedaan seorang E, S dan seorang B, I adalah :
Bahwa seorang E, S tidak dapat meninggalkan bisnisnya dalam waktu yang lama,
sedangkan seorang B, I dapat meninggalkan bisnisnya dalam waktu yang relatif lama
karena ASET-lah yang bekerja untuknya.

CONTOH SEORANG ”E”
Seorang ”E” sebagai pegawai/karyawan di suatu perusahaan/instansi, jika tidak dapat bekerja karena alasan sakit atau usia lanjut, maka dipastikan tidak mendapatkan uang / gaji untuk mereka. Seandainya mereka mendapat tunjangan, tentu saja relatif kecil yang sama sekali tidak memberi jaminan kebebasan finansial. Ironisnya lagi, seberapa pun lamanya seorang ”E” mengabdi sebagai pegawai/karyawan, dia tidak akan pernah lebih kaya daripada ”boss”nya.
CONTOH SEORANG ”S”
Dimisalkan ”S” adalah seorang dokter. Apabila seorang dokter tidak membuka praktek karena alasan kesehatan, usia lanjut, atau karena adanya bencana yang mengakibatkan seorang dokter tidak bisa membuka prekteknya, maka dokter tersebut tidak akan mendapatkan penghasilan.

CONTOH SEORANG ”B”
Dimisalkan seorang ”B” adalah pemilik waralaba ayam goreng. Apabila pemilik waralaba tersebut ingin berlibur ke luar negeri selama satu bulan hingga beberapa tahun, maka bisnisnya akan tetap berjalan dan menghasilkan uang karena telah memiliki SISTEM yang telah terbukti dapat berjalan dengan sistem yang ada dan karyawannya menjalankan sistem tersebut.

CONTOH SEORANG ”I”
Dimisalkan seorang ”B” adalah deposan. Sama seperti seorang ”B”, yaitu ketika seorang deposan ingin meninggalkan bisnisnya dalam waktu yang lama, maka bisnisnya tetap dapat berjalan karena ASET-lah yang bekerja untuknya.

Kesimpulannya, siapapun yang berada di ”quadrant kiri” ketika berpenghasilan besar menunjukan imbalan pengorbanan yang besar pula yaitu waktu, tenaga, pikiran, strata pendidikan dan lain-lain. Berapa banyak orang yang berpendidikan tinggi disertai gelar yang beraneka ragam—namun ia berada di quadrant ”E”, tenyata harus bekerja di bawah kendali orang lain minim pendidikan formal yang kebetulan berada di quadrant ”B”.

Sedangkan orang yang berada di ”quadrant kanan” lebih memilih bekerja sementara membangun sistem dan atau asset yang kemudian menjadi ”mesin penghasil uang” di saat bekerja bukan lagi sebagai kewajiban. Hal ini sekaligus menjadi jawaban dari pertanyaan, ”Mengapa si pekerja keras tidak menikmati masa kaya, sementara si pekerja cerdas lebih menikmati kebebasan finansial.”

“RICH DAD’S”
THE BUSINESS SCHOOL FOR PEOPLE WHO LIKE HELPING PEOPLE


Dalam Buku ini, Kiyosaki memprediksikan adanya TREN PERUBAHAN TATANAN EKONOMI DUNIA yang digerakan oleh industri pemasaran jaringan. Mengapa demikian? Berikut ini alasannya:

1. Orang menginginkan kebebasan
Hilanglah sudah masa di mana orang mulai bekerja pada usia 25 dan tetap di situ seumur hidup…melakukan seperti apa yang diperintahkan untuk dilakukan guna mempertahankan pekerjaan mereka. Kini orang ingin lebih bergerak, memiliki lebih banyak pilihan, dan lebih banyak kebebasan untuk menjalankan hidup sesuai dengan persyaratan mereka. Bisnis pemasaran jaringan paruh waktu memungkinkan orang lebih dapat mengendalikan hidup mereka dan akhirnya lebih banyak kebebasan. Ia memberikan biaya masuk yang rendah dan sistem siap pakai bagi orang-orang yang ingin sekali melakukan perubahan.

2. Orang ingin menjadi kaya
Pada generasi orang tua kita aturannya mengatakan kalau anda bekerja keras, semakin anda tua, semakin banyak anda dibayar. Anda mendapatkan uang lebih banyak melalui kenaikan gaji. Dan ketika anda mendekati akhir hidup anda, anda akan berkata, “Ketika saya pensiun, penghasilan saya akan menurun.” Dengan kata lain, asumsi bagi orang tua kita adalah anda bekerja keras seumur hidup dan pensiun miskin.

Sekarang ada orang berumur 25 tahun yang tidak pernah mempunyai pekerjaan tetapi telah menjadi milyader dengan membangun piranti lunak komputer. Pada saat yang sama, ada orang yang berumur 50 tahun sedang mencari pekerjaan dengan berharap mendapatkan penghasilan $50.000/tahun. Yang lebih buruk lagi, orang yang berumur 50 tahun ini hanya mempunyai sedikit atau tidak mempunyai uang sama sekali yang dapat disisihkan untuk pensiun dan mungkin tidak bisa pensiun. Orang berumur 50 tahun ini tidak memerlukan pekerjaan. Orang ini memerlukan cara untuk menjadi kaya dan memperoleh tingkat penghasilan yang terus-menerus sepanjang sisa hidupnya. Perusahaan pemasaran jaringan memberikan kesempatan ini dengan memberikan pendidikan, pembimbingan, dan sistem bisnis untuk membantu orang berumur 50 tahun ini membangun bisnis B-nya sendiri.

Pada tahun 2010, yang tidak terlalu lama lagi, orang pertama dari 75 juta baby-boomers (orang yang lahir pada masa ledakan bayi setelah PD II) di Amerika akan mencapai usia 65. Banyak yang akan masuk ke pemasaran jaringan sebagai cara untuk membangun jaminan seumur hidup yang tidak diberikan oleh pekerjaan mereka. Disamping itu, seseorang yang dengan sukses membangun bisnis pemasaran jaringan mempunyai potensi untuk masuk dalam peringkat ultrakaya di dunia… jauh lebih kaya dibanding para profesional yang berpendidikan tinggi seperti dokter, pengacara, insinyur…dan jauh lebih kaya dibanding banyak bintang olah raga, bintang film, dan bintang rock. Dengan semakin dekatnya tahun 2010, banyak orang yang sudah berada dalam bisnis pemasaran jaringan akan sangat beruntung ketika jutaan baby-boomer bergabung.


3. Portofolio pensiun pribadi akan dihapuskan
Belum pernah terjadi dalam sejarah dunia begitu banyak orang mempertaruhkan masa pensiunya pada pasar saham. Ini adalah resep bagi bencana finansial. Pada tahun 2010, juga ada kemungkinan kuat bahwa pasar saham AS akan kolaps, kalau tidak terjadi cepat. Kalau hal ini terjadi jutaan orang yang mengandalkan pasar saham dan sejenisnya tidak akan menikmati masa pensiun menyenangkan yang mereka impikan Kini, jutaan orang mencari jaminan finansial lainya, seperti membangun bisnis B yang dapat diberikan oleh bisnis pemasaran jaringan. (Prediksi Kiyosaki menjadi kenyataan, sebelum tahun 2010 pasar saham AS sudah kolaps dan memicu krisis ekonomi global terjadi sebelum menutup tahun 2008).

4. Lebih banyak orang akan sadar
Dengan semakin dekatnya tahun 2010, lebih banyak orang akan sadar bahwa Era Industri sudah berlalu dan aturan main sudah berubah untuk selama-lamanya. Pada tahun 1989, ketika tembok Berlin runtuh dan World Wide Web dibangun, aturan dunia berubah. Banyak sejarahwan menyatakan bahwa Era Industri sudah berakhir dan Era Informasi dimulai. Pada Era Industri, aturannya adalah anda bekerja keras dan perusahaan serta pemerintah akan mengurus anda. Pada Era Informasi, aturannya adalah anda akan mendapatkan yang terbaik dengan mengurus diri sendiri.

5. Kesadaran dunia
Pada tahun 2010, saat baby-boomer Amerika mengakhiri peningkatan pesat ekonomi, sekelompok lain baby-boomer akan menjadi sadar di Asia. Ketika akhir peningkatan ekonomi bergeser dari Amerika ke Asia, orang-orang di perusahaan pemasaran jaringan internasional akan berada dalam posisi bergerak mengikuti tren ini saat teman-teman dan para tentangga mereka takut diberhentikan dari pekerjaan. Dengan kata lain, di Era Informasi, orang yang bersaing mendapatkan pekerjaan anda mungkin tidak tinggal di kota atau di negara anda. Dalam Era Informasi orang yang mencari pekerjaan anda mungkin tinggal di Pakistan dan merasa senang dengan gaji $20 per hari, bukanya $20 per jam dengan tunjangan.

“Ketika orang mendapat banyak uang, mereka sering berpikir IQ mereka meningkat. Saat orang mendapat uang, mereka berpikir bahwa mereka lebih cerdas tetapi mereka mulai melakukan hal-hal yang bodoh. Bukannya IQ mereka meningkat, IQ mereka sebenarnya menurun dan kesombongan mereka naik dengan cepat.” Kalau anda melihat apa yang terjadi dengan pemenang undian atau bintang olahraga yang tiba-tiba mendapat banyak uang, anda akan mengetahui bahwa pernyataan ayah kaya saya memiliki validitas.

Berbicara tentang kesombongan vs kecerdasan. Dengan kata lain, banyak orang Amerika mabuk dan berpesta hingga jauh malam karena peningkatan pesat ekonomi ini. Saat saya menulis, kebocoran gelembung ekonomi mulai terlihat. Perusahaan-perusahaan dot com mulai kolaps dan investor saham yang melambung tinggi mulai mencari tempat berlindung pada saham yang lebih bernilai tradisional. Ketidakstabilan pasar saham saat ini sedang diamati amat cermat. Bila peningkatan pesat ini berakhir, banyak orang bijaksana dalam merencanakan masa depan akan mulai menyadari betapa pandainya mereka memasuki bisnis pemasaran jaringan sebelum peningkatan pesat berakhir.

6. Kebangkrutan mungkin tak pernah datang
Mungkin Sejarah tidak berulang sendiri. Mungkin kestabilan saat ini akan menjadi stabil dan peningkatan pesat ekonomi akan berlangsung selamanya. Mungkin orang-orang yang melihat kebijaksanaan bisnis pemasaran jaringan akan salah. Mungkin secara pribadi bertanggung jawab atas hidup dan kesejahteraan seseorang adalah salah. Mungkin mengharapkan pekerjaan anda, pemerintah, dan pasar saham yang akan menguras anda adalah hal yang benar untuk dilakukan. Mungkin cara terbaik untuk mendapatkan jaminan finansial adalah meminjam uang dan mempertaruhkan masa depan finansial anda pada pasar saham. Mungkin mempertaruhkan masa depan anda pada keberuntungan bukannya pendidikan yang terus-menerus adalah sesuatu yang pandai dilakukan…tetapi saya kira tidak.

Sebagai orang Amerika yang berpergian ke seluruh dunia, saya melihat persoalan dengan orang Amerika adalah bahwa kita cenderung untuk hidup dalam akuarium ikan. Dunia dapat melihat ke dalam tetapi banyak orang Amerika memilih untuk tidak melihat keluar. Dunia menonton acara TV Amerika. Tetapi berapa banyak di antara kita yang pernah menonton acara TV di India, Cina, atau Korea? Sangat banyak orang Amerika tidak melihat betapa cepatnya bagian dunia yang lain mengerti Ide Kapitalisme…bahkan orang Komunis sedang menjadi Kapitalis saat ini. Sangat banyak orang Amerika menjadi lemah, malas dan mengharapkan bahwa hidup dengan pekerjaan bergaji tinggi dan uang yang mudah diperoleh akan berlangsung terus…dan mudah-mudahan bagi mereka akan demikian…tetapi saya rasa tidak.

Sepanjang sejarah, kebangkrutan mengikuti semua peningkatan pesat. Berita itu mungkin berita buruk banyak orang. Namun itu juga menjadi berita baik bagi yang lain. Salah satu keunggulan beberapa bisnis pemasar jaringan adalah bahwa dunia adalah wilayah kita. Kalau anda mempunyai bisnis pemasaran jaringan internasional, kebangkrutan ekonomi bisa menjadi berita baik bagi anda sebagaimana halnya dengan peningkatan pesat ekonomi. Dan jika anda dapat melihat semua peningkatan dan semua kebangkrutan sebagai berita baik, itu adalah berita baik bagi jiwa anda dan bagi masa depan finansial anda.
Ini hanyalah beberapa alasan mengapa saya melihat masa depan industri pemasaran jaringan semakin cerah. ***



Berkah Herbal Banner 6